Pasang IKLAN BARIS GRATIS! DAFTAR | LOGIN


Kompleksitas Tantangan Pengadaan Rumah Subsidi di Jogja

    R.H.M Bambang Widayanto, MBA
    Suranto Ramli

    Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah sepakat memutuskan pada April 2020 mendatang akan ada tambahan kuota rumah subsidi sebesar 1,5 triliun. Jumlah ini setara dengan 175 ribu unit rumah subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pemerintah akan menggunakan pola Subsidi Selisih Bunga (SSB), namun, periode subsidi bunga program ini hanya sampai 10 tahun saja. Maksud dan tujuannya ialah ingin jumlah unit menjadi lebih banyak dan lebih banyak masyarakat yang bisa menikmati program rumah murah bersubsidi ini.

    Para pelaku di lapangan, khususnya pengembang sangat berharap pemerintah segera untuk merealisasikan tambahan kuota rumah subsidi sebesar 1,5 Triliun tersebut. Salah satu kebijakan Pemerintah yang kerap berubah-ubah terkait jumlah kuota rumah bersubsidi. “Jadi, logis apabila kami ragu untuk belanja tanah dan bangunan, karena stok tahun 2019 yang belum akad masih banyak, pengembang kerepotan menutup bunga pinjaman dan menutup biaya-biaya yang lainnya,” papar R.H.M Bambang Widayanto, MBA, selaku Bendahara Apernas (Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Sehat Nasional) DPW DIY.

    Rumah subsidi adalah bagian dari sektor properti, memiliki multiplayer effect yang dahsyat karena menggerakan 174 industri lainnya, otomatis menggerakan ekonomi. Bahwa subsidi di bidang perumahan masih dibutuhkan. Idealnya untuk 300 ribu rumah setiap tahun. Namun para pelaku di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan yang sangat kompleks, baik dari juklak dan juknis nya. Sering terjadi perbedaan pemahaman di berbagai lini, baik dari konsumen, pengembang, perbankan, dan pemerintah daerah.

    Bambang Widayanto mencontohkan, awal tahun melalui Direktorat Pembiayaan infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengharuskan program rumah subsidi menggunakan Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep) serta Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang). Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat mengakses secara langsung perumahan yang mereka inginkan dan memilih bank pelaksana sesuai dengan yang diinginkan dan menunggu proses pengesahannya oleh perbankan.

    “Maksud program ini sebenarnya bagus untuk mempercepat tapi faktanya sering terjadi aplikasi ini berjalan lambat kemudian trouble dan juga tidak sinkron dengan kebijakan perbankan maupun pemda,” imbuhnya. Alhasil, hingga kini karena masih belum maksimalnya aplikasi ini membuat jumlah unit rumah subsidi yang sudah akad kredit masih sedikit. Realisasi terhambat karena berbagai aturan baru. Saat ini ada 3 skema pembiayaan rumah subsidi yang diatur pemerintah yakni FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan) dan SSB (Selisih Bunga Subsidi).

    "Misalnya BP2BT itu, sudah muncul 2 tahun, tetapi baru berlaku 2 bulan terakhir karena aturannya sudah disamakan dengan skema lain. Begitu mulai pakai, pemerintah ganti aturan spesifikasi teknisnya namun kita sebagai pengembang pelaksana di lapangan tidak segera diberikan informasi yang update dan jelas terkait perubahan spesifikasi teknis bangunan tersebut," imbuh Suranto Ramli, selaku Sekretaris Apernas DIY.

    Seringnya perubahan kebijakan pengembang tak memiliki jaminan atau kepastian hukum di bidang perumahan, khususnya rumah subsidi. Kebijakan sektor perumahan yang sering berubah-ubah tersebut menjadi kendala utama bagi pengembang. Misalnya, pengembang harus membeli tanah yang tak selalu berbentuk sertipikat, namun masih berbentuk girik yang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk menjadi sertipikat.

    Suranto Ramli juga berharap bagi perbankan, yang merupakan salah satu bank penyalur subsidi FLPP, juga dapat bekerja sama baik dalam penyaluran rumah subsidi. "Dimohon para pimpinan Perbankan penyalur subsidi FLPP, lebih optimal terkait screening dan syarat Akad, program ini bukan hanya mutlak bisnis, namun juga ada sisi sosialnya.

    Saat ini pengembang tidak bisa berproduksi karena kuota rumah subsidi dipangkas pemerintah. Jika sebelumnya Pemerintah menyediakan kuota rumah subsidi 250.000 unit hingga 400.000 unit, tahun 2020 hanya 97.000 unit. "Namun, jika ada batasan kuota kita tidak bisa berbicara masalah backlog lagi,” paparnya.

    Contoh lainnya, saat proses pembebasan lahan dan izin mendirikan bangunan belum selesai, perubahan kebijakan kembali terjadi. "Jadi, bagi kami yang sudah berinvestasi, sudah membuat Rancangan Anggaran Biaya (RAB), jalannya produksi rumah itu bagaimana, harus berubah lagi strategi kami terkait dengan kebijakan yang baru. Kami berharap kalau bisa peraturan Pemerintah itu bertahan 5 - 10 tahun, sehingga kami berinvestasinya mantap dan di tengah-tengah perjalanan tidak mengalami perubahan," pungkas Bambang yang diamini Suranto Ramli. Wahyu Pras-red

    PARTNER
    Archira - Architecture & Interior    A + A Studio    Sesami Architects    Laboratorium Lingkungan Kota & Pemukiman Fakultas Arsitektur dan Desain UKDW    Team Arsitektur & Desain UKDW    Puri Desain